![]() |
UNDANG UNDANG NO 17 TAHUN 2008 |
Keterkaitan KUHD dengan UU No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran dan PP No.20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan dalam Hukum Pengangkutan Laut
Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran dan
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan terdapat
keterkaitan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu mengenai:
Berdasarkan pasal 1 angka 10 UU No 17 tahun 2008
tentang Pelayaran, Angkutan adalah angkutan barang dari suatu tempat
diterimanya barang tersebut ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan
barang yang bersangkutan. Sedangkan Pengangkutan adalah kegiatan
memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lain dengan selamat
sampai tujuan dan berdasarkan pasal 7 UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran,
jenis angkutan laut terdiri atas : Angkutan Laut Dalam Negeri, Angkutan Laut
Luar Negeri, Angkutan Laut Khusus, dan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat,
berhubungan dengan Pasal 453 (2) KUHD, Vervrachter mengikatkan diri kepada
Bevrachter untuk:
- Waktu
tertentu,
- Menyediakan
sebuah kapal tertentu,
- Kapalnya
untuk pelayaran di laut bagi Bevrachter,
-
Pembayaran harga yang dihitung berdasarkan waktu.
dan Pasal 460 (1) KUHD menyebutkan bahwa kewajiban
pencarter untuk memelihara, melengkapi dan menganakbuahi.
Dasar
Hukum Pengaturan Pengangkutan Laut di Indonesia:
a. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata,
b. Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang : pasal 307 s/d pasal 747,
c. UU No
17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dan UU lain yang terkait,
d. Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan
d. Peraturan
Internasional.
Dasar Hukum
Pendaftaran Kapal:
a. Pasal
314 KUHD,
b. Peraturan
Pendaftaran kapal Stbl. 1933 No.48,
c. Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,
d. Peraturan
Pemerintah Nomor 51 tahun 2002 tentang Perkapalan,
e. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.26 Tahun 2006
tentang Penyederhanaan Sistem dan Prosedur Pengadaan Kapal dan Penggunaan
/Penggantian Bendera Kapal.
f. Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS 1982) yang
diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Pasal 1,
pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan diperairan,
kepelabuhan, keselamatan dan keamanan serta perlindungan yang maritim.
Sedangkan menurut pasal 309 KUHD buku kedua Hak-Hak Dan Kewajiban-Kewajiban
Yang Timbul Dari Pelayaran, yaitu kapal adalah semua alat berlayar bagaimanapun
namanya dan apapun sifatnya.
Pengaturan Layak Angkut Perairan
Berdasarkan Pasal 343 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dimana menyatakan bahwa
“Nakhoda diwajibkan mengikuti dengan teliti pearaturan-peraturan yang lazim dan
peraturan-peraturan yang ada untuk menjamin kelayakan mengarungi laut dan
keamanan kapal, keamanan para penumpang dan keamanan pengangkutan muatan. Ia
tidak mengadakan perjalanan, kecuali apabila kapal memenuhi syarat untuk
melakukan perjalanan, diperlengkapi dengan pantas dan cukup diawaki.
”Menurut Pasal 522 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menyatakan bahwa“
persetujuan pengangkutan mewajibkan si pengangkut untuk menjaga keselamatan si
penumpang, sejak saat si penumpang ini masuk dalam kapal hingga saat ia
meninggalkan kapalnya. Bagi sebuah kapal yang akan dioperasikan harus dalam
keadaan layak laut kapal. Dikatakan layak laut kapal tersebut harus memenuhi
persyaratan-persyaratan antara lain, sertifikat kapal (masa berlaku) pengawakan
kapalnya cukup, memiliki alat pencegah pencemaran, alat-alat keselamatan atau
alat penolong yang cukup.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di
Perairan Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa “ruang penumpang harus dipisahkan
dengan sekat dari kamar awak kapal, ruang muatan dan ruang lainnya”.
Pengaturan Tanggung Jawab Kapal Dengan
memperhatikan ketentuan pasal 468 KUHD, maka tanggung jawab pengangkut adalah
pada saat barang yang diterimanya dan berakhir pada saat penyerahan pada pihak
yang berhak. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran didalam
peraturan pelaksanaannya yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20
Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan Pasal 70 ayat (1) menyatakan bahwa
“kapal sesuai dengan jenis, ukuran dan daerah pelayarannya harus memiliki alat
penolong”. Sebuah kapal yang akan dioperasikan harus memenuhi
persyaratan-persyaratan, yang diantaranya memiliki alat penolong yang cukup,
salah satunya adalah pelampung. Hal ini sesuai amanat dari Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 2010 Tentang
Angkutan di Perairan, khusus
mengenai alat penolong yang berupa pelampung, diatur kriteria atau persyaratan
seperti yang diamanatkan oleh pasal 70 ayat (2) yang persyaratannya adalah:
1. Dibuat
dari bahan dan mutu yang memenuhi syarat,
2. Mempunyai
konstruksi dan daya apung yang baik, sesuai dengan kapasitas dan beban yang
ditentukan,
3. Diberi
warna yang mencolok sehingga mudah dilihat,
4. Telah
lulus uji coba produksi dan uji coba pemakaian dalam pengoprasian dan diberi
tanda legalitas,
5. Dengan
jelas dan tetap mencantumkan nama kapal dan/atau spesifikasi alat penolong, dan
6. Ditempat
pada tempat sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Dirangkum Oleh Ayu Sartika Dewi (Mahasiswi Universitas Nasional)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar