Senin, 28 Maret 2016

MENGIDENTIFIKASI HAK & KEWAJIBAN MASING-MASING DALAM UU DI BIDANG TRANSPORTASI



Mengenali UU Nomor 22 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 26 Mei 2009 yang kemudian disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 22 Juni 2009. Undang-Undang ini adalah kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992, terlihat bahwa kelanjutannya adalah merupakan pengembangan yang signifikan dilihat dari jumlah clausul yang diaturnya, yakni yang tadinya 16 bab dan 74 pasal, menjadi 22 bab dan 326 pasal.
Jika kita melihat UU sebelumnya yakni UU Nomor 14 Tahun 1992 menyebutkan Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, transportasi memiliki posisi yang penting dan strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan dan hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor dan wilayah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara.
Berbeda dengan undang-undang Nomor 22 Tahun 2009, UU ini melihat bahwa lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari
upaya memajukan kesejahteraan umum. Selanjutnya di dalam batang tubuh di jelaskan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh Undang-Undang ini adalah :
  1. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;
  2. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
  3. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
aman, selamat, tertib, dan lancar melalui:
  1. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan;
  2. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
  3. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Mencermati lebih dalam dari semangat yang telah disebutkan di atas, maka kita harus lebih dalam lagi melihat isi dari Pasal-Pasal yang ada di UU Nomor 22 Tahun 2009. Dari sini kita akan tahu apakah semangat tersebut seirama dengan isi dari pengaturan-pengaturannya, atau justru berbeda. Selanjutkan kita dapat melihat bagaimana UU ini akan berjalan dimasyarakat serta bagaimana pemerintah sebagai penyelenggara negara dapat mengawasi serta melakuakn penegakannya

Perbandingan Pengaturan
UU Nomor 14 Tahun 1992
UU Nomor 22 Tahun 2009
Bab I Ketentuan Umum Bab I Ketentuan Umum
Bab II Asas dan Tujuan Bab II Asas dan Tujuan
Bab III Pembinaan Bab III Ruang Lingkup Keberlakuan Undang-Undang
Bab IV Prasarana Bab IV Pembinaan
Bab V Kendaraan Bab V Penyelenggaraan
Bab VI Pengemudi Bab VI Jaringan Lalu Lintas danAngkutan Jalan
Bab VII Lalu Lintas Bab VII Kendaraan
Bab VIII Angkutan Bab VIII Pengemudi
Bab IX Lalu Lintas dan Angkutan Bab IX Lalu Lintas bagi Penderita Cacat
Bab X Dampak Lingkungan Bab X Angkutan
Bab XI Penyerahan Urusan Bab XI Keamanan danKeselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Bab XII Penyidikan Bab XII Dampak Lingkungan
Bab XIII Ketentuan Pidana Bab XIII Pengembangan Industri dan Teknologi Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Bab XIV Ketentuan Lain-Lain Bab XIV Kecelakaan Lalu Lintas
Bab XV Ketentuan Peralihan Bab XV Perlakuan Khusus bagi Penyandang Cacat, Manusia Usia Lanjut, Anak-Anak, Wanita Hamil, dan Orang Sakit
Bab XVI Ketentuan Penutup Bab XVI Sistem Informasi danKomunikasi Lalu Lintas danAngkutan Jalan

Bab XVII Sumber Daya Manusia

Bab XVIII Peran Serta Masyarakat

Bab XIX Penyidikan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab XX Ketentuan Pidana

Bab XXI Ketentuan Peralihan

Bab XXII Ketentuan Penutup

Dari sekian banyak ketentuan yang ada, beberapa pasal yang mendapatkan respon beragam dan menjadi perdebatan di masyarakat, beberapa pasal tersebut adalah :
Ketentuan
Isi
Catatan
107 ayat (2) Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari Jika alasannya adalah untuk keselamatan, maka harus diyakinkan hubungan langsung lampu dengan keselamatan pengendara. Selain itu dukungan data-data mengenai penyebab kecelakaan di jalan raya
112 ayat (3) Pada persimpangan Jalan yang dilengkapi Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi Kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh Rambu Lalu Lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas. Seberapa banyan sarana yang teah disediakan
273 ayat (1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). Kementerian PU mempermasalahkan pasalpemidanaan penyelenggara jalan yang memang secara hukum tidak berdasarkan konsep yang kuat. Fungsi pemerintahan, termasuk penyelenggaraan jalan, pada prinsipnya adalah pelaksanaan undangundang.Wajarkah aturan perundangan yang memidanakan pelaksana undang-undang?
Bab XIII pengembangan industri dan teknologi sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan Hal ini cukup menarik untuk digarisbawahi, karena tidak cukup jelas mengapa harus adapengaturan tersendiri dalam UU Lalu Lintas dan Jalan Raya menyangkut sektor industri dan pengembangan teknologi.
302 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang yang tidak berhenti selain di tempat yang telah ditentukan, mengetem, menurunkan penumpang selain di tempat pemberhentian, atau melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Seberapa banyak sarana halte yang disediakan pada satu trayek angkutan umum. Kita bisa bercermin pada wilayah-wilayah di daerah khususnya di luar Pulau Jawa
310 Terkait dengan kelalaian pengemudi hingga mengakibatkan korban jiwa Sudah diatur dalam Pasal 359 KUHP

Banyak Pekerjaan Rumah
Untuk melihat UU ini bisa dilaksanakan atau tidak, kita bisa menggunakan satu indikator yakni mengenai sejelas apakah ketentuan-ketentuan yang mengatur, hal ini bisa dilihat seberapa banyak pasal yang harus diterjemahkan lagi dalam peraturan pelaksana dan teknis. Jika diinventaris, maka dapat ditemukan ada 58 peraturan pelaksana dan teknis yang dapat menunjang berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2009 ini. Peraturan tersebut beraneka macam, mulai dari Peraturan Desa, Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, peraturan Presiden hingga pada Peraturan Pemerintah. Lebih lengkapnya dapat di lihat pada tabel dibawah

No.
Pasal
Bentuk
Tentang
1
13 ayat (5) Peraturan Pemerintah forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
2
18 Peraturan Pemerintah penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan.
3
19 ayat (5) Peraturan Pemerintah mengenai jalan kelas khusus
4
20 ayat (3) Peraturan Pemerintah pengelompokan kelas jalan dan tata cara penetapan kelas jalan
5
21 ayat (5) Peraturan Pemerintah batas kecepatan
6
25 ayat (2) Peraturan Pemerintah perlengkapan Jalan
7
27 ayat (2) Peraturan Daerah pemasangan perlengkapan Jalanpada jalan lingkungan tertentu diatur
8
32 Peraturan Presiden organisasi dan tata kerja unit pengelolaDana Preservasi Jalan
9
39 ayat (3) Peraturan Daerah Lingkungan kerja Terminal
10
42 Peraturan Pemerintah fungsi, klasifikasi, tipe, penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangunan, dan pengoperasian Terminal
11
43 ayat (4) Peraturan Pemerintah Pengguna Jasa fasilitas Parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum
12
46 ayat (2) Peraturan Pemerintah pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, serta spesifikasi teknis fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
13
48 ayat (4) Peraturan Pemerintah persyaratan teknis dan laik jalan
14
50 ayat (4) Peraturan Pemerintah Uji tipe kendaraan bermotor
15
51 ayat (6) Peraturan Pemerintah modifikasi dan uji tipe kendaraan bermotor
16
56 Peraturan Pemerintah uji berkala
17
57 ayat (4) Peraturan Pemerintah Perlengkapan Kendaraan Bermotor
18
59 ayat (6) Peraturan Pemerintah persyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene
19
59 ayat (7) peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tata cara penggunaan lampu isyarat dan sirene
20
60 ayat (6) Peraturan Pemerintah persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum
21
61 ayat (4) Peraturan Pemerintah Persyaratan keselamatan
22
63 ayat (2) dan (3) Peraturan Daerah jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor
23
64 ayat (6) Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik Indonesia Registrasi kendaraan bermotor
24
67 ayat (4) Peraturan Presiden persyaratan dan prosedur serta pelaksanaan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap
25
68 ayat (6) Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik Indonesia Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor
26
69 ayat (3) Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik Indonesia persyaratan dan tata cara pemberian dan penggunaan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor KendaraanBermotor
27
72 ayat (1) Peraturan Panglima TentaraNasional Indonesia Registrasi Kendaraan Bermotor Tentara NasionalIndonesia
28
76 ayat (5), 92 ayat (3) Peraturan Pemerintah kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif
29
88 Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik Indonesia tata cara, persyaratan, pengujian, dan penerbitan Surat Izin Mengemudi
30
89 ayat (3) Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik Indonesia pemberian tanda atau data pelanggaran
31
91 ayat (2) Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik Indonesia tata cara dan prosedurpengenaan sanksi administratif bagi anggota kepolisian
32
95 ayat (1) Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan Desa Penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas
33
101 Peraturan Pemerintah pelaksanaan analisis dampak Lalu Lintas
34
102 ayat (3) Peraturan Pemerintah kekuatan hukum Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan
35
103 ayat (4) Peraturan Menteri Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas
36
130 Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik Indonesia penggunaan Jalan selain untuk kegiatan Lalu Lintas
37
133 ayat (5) Peraturan Pemerintah Manajemen kebutuhan Lalu Lintas
38
137 ayat (5) Peraturan Pemerintah mobil barang yang digunakan untuk angkutan orang
39
141ayat (3) Peraturan Menteri Standar pelayanan minimal angkutan umum
40
164 Peraturan Menteri angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum
41
165 ayat (4) Peraturan Pemerintah angkutan multimoda, persyaratan, dan tata cara memperoleh izin
42
172 Peraturan Pemerintah pengawasan muatan angkutan barang
43
178 Peraturan Pemerintah izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek
44
182 ayat (4) Peraturan Menteri tarif penumpang
45
185 ayat (2) Peraturan Pemerintah Subsidi angkutan Penumpang umum
46
192 ayat (5) Peraturan Pemerintah Ganti kerugian yang diderita penumpang akibat penyelenggaraan angkutan umum
47
198 ayat (3) Peraturan Pemerintah standar pelayanan dan persaingan yang sehat penyelenggaraan angkutan umum
48
202 Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik Indonesia penetapan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
49
205 Peraturan Pemerintah penetapan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta dankewajiban Perusahaan Angkutan Umum membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan serta persyaratan alat pemberi informasi Kecelakaan Lalu Lintas
50
207 Peraturan Pemerintah pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
51
209 ayat (2) Peraturan Pemerintah pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
52
210 ayat (2) Peraturan Pemerintah tata cara, persyaratan, dan prosedur penanganan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan yang diakibatkan oleh KendaraanBermotor
53
218 ayat (2) Peraturan Pemerintah tata cara dan kriteria pengenaan sanksi administratif
54
225 Peraturan Pemerintah pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
55
228 Peraturan KepalaKepolisian Negara Republik Indonesia tata cara penanganan Kecelakaan Lalu Lintas
56
242 ayat (3 Peraturan Pemerintah pemberian perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit
57
252 Peraturan Pemerintah Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
58
255 Peraturan Pemerintah pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 320 : Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

Akan Tertatih-tatih pelaksanaannya
Norma-norma peraturan tanpa adanya sarana pendukung seperti struktur keorganisasian yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan pastinya akan berjalan tidak efektif dan efisien. Selain itu, budaya dalam melakukan dan melaksanakan norma-norma peraturan juga harus dinilai, apakah memang sudah tepat masyarakat dapat melaksanakan. Hal ini berkaitan dengan bagaimana nantinya UU Nomor 22 Tahun 2009 diimplementasikan. Melihat hal ini makan kita dapat menggunakan pendekatan substansi, sutruktural, dan kultural.
Secara substansi, UU Nomor 22 Tahun 2009 masih dapat diperdebatkan. Mulai dari banyaknya amanat untuk membuat aturan pelaksana dan teknis; nilai keefektifan dari penegakan hukum berupa sanksi administrasi, perdata hingga pada pidana; pengaturan mengenai hak dan kewajiban dari penyelenggara negara dan masyarakat, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ini adalah untuk lebih mendalami apakah peraturan ini dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Selain itu, apakah norma peraturan tersebut memang lahir dari masyarakat, hal ini guna menjawab kebutuhan siapa yang memang hars dipenuhi. Dengan memperhatikan ini, maka kita dapat melihat apakah suatu peraturan ini akan efektik dan efisien jika dilaksanakan.
Secara struktur, UU Nomor 22 Tahun 2009 telah menjelaskan mengenai pihak yang terkait. Jika kita cermati maka kita dapat melihatnya sebagai berikut :
  1. Pembinaan menjadi tanggung jawab negara. Pembinaan mencakup perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.
  2. Urusan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan;
  3. Urusan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
  4. Urusan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab dibidang industri;
  5. Urusan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan
  6. Urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  7. Mengkoordinasi penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Tidak hanya cukup siapa yang akan menjalakan apa, tapi juga bagaimana ia harus melakukan dan kapan harus dilaksanakan. Sebagai masyarakat tentunya adalah menjalankan hukum posistif dalam hal ini UU Nomor 22 Tahun 2009, namun perlu diterjemahkan lagi bagaimana situasi dan kondisi dilapangan dapat menunjang masyarakat dapat melaksanakannya. Keharusan yang diterjemahkan sebagai kewajiban harus di dukung oleh seberapa besar dan seberapa banyak petunjuk-petunjuk dilapangan. Terkait dengan UU Nomor 22 Tahun 2009 ini maka kita bisa mempertanyakan seberapa banyak rambu-rambu dan fasilita-fasiitas penunjang di jalan raya. Harus diingat, pemberlakuan UU tidak hanya pada satu wilayah saja namun berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia, apa yang akan terjadi nantinya jika diterapkan di Kalimantan atau bahkan Papua. Struktur itu harus mampu menunjang masyarakat agar dapat melaksanakannya. Kita bisa lihat diagram di bawah ini, bagaimana kota Semarang masih kekurangan rambu-rambu lalu lintas.
Dari contoh statistik diatas, maka dapat dinilai apakah UU Nomor 22 Tahun 2009 dapat dilaksanakan atau tidak. Sepanjang alat-alat penunjang seperti rambu-rambu serta fasilitas-fasilitas umum di jalan belum terpenuhi kebutuhannya maka pelaksanaan UU juga akan tidak efektif dan efisien.
Sebelum membicarakan kultur, hendaknya kita melihat sejenak hasil survey yang dilakukan oleh tabloit otomotif terkait dengan alasan mengapa tidak yakin UU Nomor 22 Tahun 2009 dapat memperbaiki masalah:
Alasan
Jumlah (%)
Kesadaran / disiplin masalah
30
Volume kendaraan terus bertambah / sudah banyak
10
Mental aparat kurang baik
8
Pelaksanaan belum efektif
6
Infrastruktur kurang (jalan, rambu, fasilitas)
6
Jadi lebih macet
6
Tergantung kesadaran masyarakat
5
Jumlah responden 10.045 orang
Dari tabel diatas, hampir keseluruhan berkaitan dengan kultur. 30% misalnya merasa tidak yakin UU Nomor 22 Tahun 2009 dapat memperbaiki masalah karena alasan kesadaran. Diikuti juga ketidakyakinan oleh 8% bahwa mental aparat kurang baik serta 5% tergantung kesadaran masyarakat. Kultur-kultur dari masing-masing pihak ini akan menentukan bagaimana suatu norma dapat dijalankan dengan efektif dan efisien. Akan menjadi tantangan bagi penyelenggara negara ketika kultur-kultur tersebut tidak mendukung untuk melakukan social engineering. Sehingga didapat bagaimana masyarakat sadar untuk melaksanakan peraturan karena ia tahu apa hak dan kewajibannya, atau bagaimana aparat penegak hukum yang benar-benar menjunjung tinggi hukum.



Oleh : Ayu Sartika Dewi Mahasiswi Universitas Nasional
Dibuat untuk Memenuhi tugas Hukum Transportasi

Selasa, 22 Maret 2016

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG ANGKUTAN UMUM PENGANGKUTAN DARAT

NAMA : AYU SARTIKA DEWI
NPM : 1431123300040104

DIBUAT UNTUK MEMENUHI TUGAS HUKUM TRANSPORTASI


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Melihat Letak geografis Indonesia yang sangat strategis yakni terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik) menentukan posisi dan peran Indonesia dalam hubungan antar bangsa, apalagi dengan kekayaan wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau. Oleh karena itu untuk mempelancar roda perekonomian, menjaga, dan memperkokoh persatuan dan kesatuan, serta mempelancar hubungan dengan negara lain, dibutuhkan sistem transportasi yang memadai. Dalam sistem transportasi juga berperan sebagai penunjang, pendorong dan penggerak bagi pertumbuhan daerah yang berpotensi namun belum berkembang, dalam upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan yang dapat berdampak sistemik.
Perann penting jasa transportasi ini dapat dilihat dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang dari dan ke seluruh pelosok tanah air. Menyadari begitu besarnya peran transportasi, maka transportasi perlu untuk ditata dalam suatu sistem transportasi nasional yang terpadu untuk mewujudkan tersedianya jasa transportasi yang aman, nyaman, cepat, teratur, dan dengan biaya yang dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Alat transportasi di Indonesia meliputi transportasi darat, laut, dan udara. Ketiga alat transportasi tersebut memang memegang peranan yang sangat penting dan saling mengisi dalam menjalankan fungsi sebagai alat angkut orang maupun barang. Pengangkutan dalam kehidupan masyarakat mempunyai peran yang sangat penting, karena didalam pengangkutan hampir semua kegiatan ekonomi dan kegiatan masyarakat pada umumnya dapat berjalan secara lancar.
Peranan pengangkutan di dalam dunia perdagangan bersifat mutlak, sebab tanpa pengangkutan, perusahaan tidak mungkin dapat berjalan. Barang-barang yang dihasilkan oleh produsen atau pabrik-pabrik dapat sampai di tangan pedagang atau pengusaha hanya dengan jalan pengangkutan, dan seterusnya dari pedagang atau pengusaha kepada konsumen juga harus menggunakan jasa pengangkutan. Pengangkutan di sini dapat dilakukan oleh orang, kendaraan yang ditarik oleh binatang, kendaraan bermotor, kereta api, kapal laut, kapal sungai, pesawat udara dan lain-lain.
Masalah yang ada sekarang adalah terkait dengan penyediaan alat transportasi masal yang memadai, nyaman, aman, murah, serta tepat waktu. Dengan terpenuhinya hal tersebut maka sudah pasti akan turut meningkatkan kemakmuran masyarakat. Karena dengan hal tersebut, jasa pengangkutan menjadi lebih efisien dan menghemat waktu.
Pembahasan pembangunan aspek hukum transportasi tidak terlepas dari efektivitas hukum pengangkutan itu sendiri. Pengangkutan di Indonesia diatur dalam KUH Perdata pada Buku Ketiga tentang perikatan, kemudian dalam KUH Dagang pada Buku II titel ke V. Selain itu pemerintah telah mengeluarkan kebijakan di bidang transportasi darat yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai Pengganti UU No. 14 Tahun 1992, serta Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan yang masih tetap berlaku meskipun PP No. 41 Tahun 1993 merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 14 tahun 1992 dikarenakan disebutkan dalam Pasal 324 UU No. 22 Tahun 2009

Adapun Asas penyelenggaraan lalu lintas adalah diatur dalam Pasal 2 UULLAJ yakni:
a.    asas transparan
b. asas akuntabel
c. asas berkelanjutan
d. asas partisipatif
e. asas bermanfaat
f. asas efisien dan efektif
g. asas seimbang
h. asas terpadu  
i.  asas mandiri.
Sedangkan Pasal 3 UULLAJ menyebutkan mengenai tujuan dari Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yakni :
a. Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;
b. Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
c. Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Menurut Pasal 4 UULLAJ dinyatakan undang-undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui:
a. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan;
b. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
c. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Demikian juga dalam Pasal 9 UULLAJ tentang Tata Cara Berlalu Lintas bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum serta Pasal 141 UULAJ tentang standar pelayanan angkutan orang dan masih banyak pasal-pasal lainnya yang terkait dengan adanya upaya memberikan penyelenggaraan jasa angkutan bagi pengguna jasa atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan pemakai jasa angkutan.
Dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 2009 tersebut diharapkan dapat membantu mewujudkan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan jasa angkutan, baik itu pengusaha angkutan, pekerja (sopir/ pengemudi) serta penumpang. Secara operasional kegiatan penyelenggaraan pengangkutan dilakukan oleh pengemudi atau sopir angkutan dimana pengemudi merupakan pihak yang mengikatkan diri untuk menjalankan kegiatan pengangkutan atas perintah pengusaha angkutan atau pengangkut. Pengemudi dalam menjalankan tugasnya mempunyai tanggung jawab untuk dapat melaksanakan kewajibannya yaitu mengangkut penumpang sampai pada tempat tujuan yang telah disepakati dengan selamat, artinya dalam proses pemindahan tersebut dari satu tempat ke tempat tujuan dapat berlangsung tanpa hambatan dan penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya, luka, sakit maupun meninggal dunia. Sehingga tujuan pengangkutan dapat terlaksana dengan lancar dan sesuai dengan nilai guna masyarakat.
Namun dalam kenyataannya masih sering pengemudi angkutan melakukan tindakan yang dinilai dapat menimbulkan kerugian bagi penumpang, baik itu kerugian yang secara nyata dialami oleh penumpang (kerugian materiil), maupun kerugian yang secara immateriil seperti kekecewaan dan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh penumpang. Misalnya saja tindakan pengemudi yang mengemudi secara tidak wajar dalam arti saat menjalani tugasnya pengemudi dipengaruhi oleh keadaan sakit, lelah, meminum sesuatu yang dapat mempengaruhi kemampuannya mengemudikan kendaraan secara ugal-ugalan sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan dan penumpang yang menjadi korban. Hal ini tentu saja melanggar pasal 23 ayat 1 (a) UULLAJ. Tindakan lainnya adalah pengemudi melakukan penarikan tarif yang tidak sesuai dengan tarif resmi, hal ini tentu saja melanggar pasal 42 UULLAJ tentang tarif. Atau tindakan lain seperti menurunkan di sembarang tempat yang dikehendaki tanpa suatu alasan yang jelas, sehingga tujuan pengangkutan yang sebenarnya diinginkan oleh penumpang menjadi tidak terlaksana. Hal ini tentu saja melanggar ketentuan
Pasal 45 (1) UULLAJ mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang yang dimulai sejak diangkutnya penumpang sampai di tempat tujuan. Dan adanya perilaku pengangkut yang mengangkut penumpang melebihi kapasitas maksimum kendaraan.
Dengan melihat kenyataan tersebut, dapat diketahui bahwa dalam sektor pelayanan angkutan umum masih banyak menyimpan permasalahan klasik. Dan dalam hal ini pengguna jasa (penumpang) sering menjadi korban daripada perilaku pengangkut yang tidak bertanggung jawab.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan hukum pengguna jasa (penumpang) angkutan umum?
2. Hal-hal apa yang dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum akibat kesalahan dari pihak pengangkut?
3. Bagaimana Upaya Pengguna Jasa Angkutan Umum dalam mendapatkan Perlindungan Hukum dan ganti rugi?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Transportasi. selain itu berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan hukum pengguna jasa (penumpang) angkutan umum.
2. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang) melalui angkutan umum akibat kesalahan dari pihak pengangkut dan bagaimana tanggung jawab pihak pengangkut terhadap kesalahan yang mengakibatkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum.
3. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap pengguna jasa (penumpang) angkutan umum sebagai konsumen fasilitas publik transportasi berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009.
4. Untuk mengetahui upaya pengguna jasa angkutan umum dalam mendapatkan perlindungan hukum
Sedangkan manfaat dari penulisan ini adalah untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang bagaimana perlindungan hukum terhadap pengguna jasa (penumpang) melalui jalan umum.
                                                                                                       
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Pengangkutan
Istilah “Pengangkutan” berasal dari kata “angkut” yang berarti “mengangkut dan membawa”, sedangkan istilah “pengangkutan” dapat diartikan sebagai “pembawaan barang-barang atau orang-orang (penumpang)”.
Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.[1]
Pada pokoknya pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang-orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi.
Pembagian jenis-jenis pengangkutan pada umunya didasarkan pada jenis alat angkut yang dipergunakan dan keadaan geografis yang menjadi wilayah tempat berlangsungnya kegiatan pengangkutan. Menurut H.M.N Purwosutjipto dalam bukunya Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, jenis-jenis pengangkutan terdiri dari pengangkutan darat, pengangkutan laut, pengangkutan udara, dan pengangkutan perairan darat.[2]
Secara Umum, jenis atau moda pengangkutan ada tiga, yaitu pengangkutan darat, pengangkutan laut, dan pengangkutan udara.[3]
Dalam makalah ini khusus akan dibahas mengenai perlindungan hukum terhadap penumpang dalam pengangkutan melalui jalan umum atau angkutan umum, yang tak lain adalah pengangkutan darat.
Mengenai istilah jalan umum di sini dimaksudkan semua jalan yang bukan jalan kereta api, yang bisa dilalui oleh umum (setiap orang) dan kendaraan bermotor. Alat pengangkutan yang dipergunakan di atas jalan umum ini ialah kendaraan bermotor.
B.  Perjanjian Pengangkutan
 Dalam bahasa Belanda, perjanjian disebut juga overeenkomst dan hukum perjanjian disebut overeenkomstenrech.[4] Hukum perjanjian diatur dalam buku III BW (KUHPerdata). Pada pasal 1313 KUHPerdata, dikemukakan tentang defenisi daipada perjanjian. Menurut ketentuan pasal ini, “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Pengangkutan sebagai perjanjian selalu didahului oleh kesepakatan antara pihak pengangkut dan pihak penumpang atau pengirim. Kesepakatan tersebut pada dasarnya berisi kewajiban dan hak, baik pengangkut dan penumpang maupun pengirim.
Perjanjian pengangkutan adalah persetujuan di mana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan penumpang atau pemilik barang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.
Pasal 90 KUHD itu menentukan bahwa surat muatan (vrachtbrief) merupakan perjanjian antara pengirim dan pengangkut. Jadi, menurut pasal 90 KUHD, perjanjian pengangkutan tidak bersifat konsensuil, tetapi tertulis. Padahal kenyataannya perjanjian pengangkutan itu bersifat konsensuil, artinya untuk terjadinya perjanjian pengangkutan cukup bila ada persetujuan kehendak antara pengirim dan pengangkut, tidak perlu surat muatan atau akta lain. Surat muatan ini hanya merupakan salah satu alat pembuktian tentang adanya perjanjian pengangkutan.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan para pihak menginginkan perjanjian pengangkutan dilakukan secara tertulis, yaitu:
a. Kedua belah pihak ingin memperoleh kepastian mengenai hak dan kewajiban masing-masing.
b. Kejelasan rincian mengenai objek, tujuan, dan beban risiko para pihak.
c. Kepastian dan kejelasan cara pembayaran dan penyerahan barang.
d. Menghindari berbagai macam tafsiran arti kata dan isi perjanjian,
e. Kepastian mengenai waktu, tempat dan alasan apa perjanjian berakhir.
f. Menghindari konflik pelaksanaan perjanjian akibat ketidakjelasan maksud yang dikehendaki para pihak.
1.     Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pengangkutan
Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum pengangkutan adalah pendukung hak dan kewajiban dalam hubungan hukum pengangkutan, yaitu pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam proses perjanjian sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan.
Pihak-pihak yang yang terlibat di dalam perjanjian pengangkutan antara lain:
a. Pihak pengangkut,
Secara umum, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD) tidak dijumpai defenisi pengangkut, kecuali dalam pengangkutan laut. Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan orang (penumpang) dan/atau barang. b. Pihak Penumpang, Peraturan pengangkutan di Indonesia menggunakan istilah “orang” untuk pengangkutan penumpang. Akan tetapi, rumusan mengenai “orang” secara umum tidak diatur. Dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan orang, penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas dasar ini dia berhak untuk memperoleh jasa pengangkutan. c. Pihak Pengirim, Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD) Indonesia juga tidak mengatur defenisi pengirim secara umum. Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan barang dan atas dasar itu dia berhak memperoleh pelayanan pengangkutan barang dari pengangkut. Dalam bahasa inggris, pengirim disebut consigner, khusu pada pengangkutan perairan pengangkut disebut shipper.
Menurut H.M.N Purwosutjipto, kewajiban-kewajiban dari pihak pengangkut adalah[5]
1. Menyediakan alat pengangkut yang akan digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan .
2. Menjaga keselamatan orang (penumpang) dan/ atau barang yang diangkutnya. Dengan demikian maka sejak pengangkut menguasai orang (penumpang) dan/ atau barang yang akan diangkut, maka sejak saat itulah pihak pengangkut mulai bertanggung jawab (Pasal 1235 KUHPerdata).
3. Kewajiban yang disebutkan dalam Pasal 470 KUHD yang meliputi:
a.  Mengusahakan pemeliharaan, perlengkapan atau peranakbuahan alat pengangkutnya;
b.  Mengusahakan kesanggupan alat pengangkut itu untuk dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan;
c. Memperlakukan dengan baik dan melakukan penjagaan atas muatan yang diangkut.
4. Menyerahkan muatan ditempat tujuan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
Menurut Pasal 124 ayat (1) UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi pengenudi kendaraan bermotor umum, yaitu:
1. Mengangkut Penumpang yang membayar sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan;
2. Memindahkan penumpang dalam perjalanan ke Kendaraan lain yang sejenis dalam trayek yang sama tanpa dipungut biaya tambahan jika Kendaraan mogok, rusak, kecelakaan, atau atas perintah petugas;
3. Menggunakan lajur Jalan yang telah ditentukan atau menggunakan lajur paling kiri, kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah;
4.Memberhentikan kendaraan selama menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang;
5. Menutup pintu selama Kendaraan berjalan; dan
6. Mematuhi batas kecepatan paling tinggi untuk angkutan umum.
Selain itu di dalam UU No. 22 tahun 2009 terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan angkutan umum, yaitu:
1. Menyerahkan tiket penumpang (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009);
2. Menyerahkan tanda bukti pembayaran pengangkutan untuk angkutan tidak dalam trayek (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009);
3. Menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada Penumpang (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009);
4. Menyerahkan manifes kepada pengemudi Penumpang (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009);
5. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian angkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh Penumpang dan/atau pengirim barang (Pasal 186 UU No. 22 tahun 2009);
6. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh Penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan pemberangkatan (Pasal 187 UU No. 22 tahun 2009);
7. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan (Pasal 188 UU No. 22 tahun 2009);
8. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya (Pasal 189 UU No. 22 tahun 2009);
Di samping kewajiban yang dibebankan kepada pengangkut oleh undang-undang, terdapat juga hak-hak yang diberikan kepada pengangkut. Hak-hak yang dimiliki oleh pihak pengangkut, antara lain:
1. Pihak pengangkut berhak menerima biaya pengangkutan.
2. Pemberitahuan dari pengirim mengenai sifat, macam dan harga barang yang akan diangkut, yang disebutkan dalam Pasal 469, 470 ayat (2), 479 ayat (1) KUHD.
3. Penyerahan surat-surat yang diperlukan dalam rangka mengangkut barang yang diserahkan oleh pengirim kepada pengangkut berdasarkan Pasal 478 ayat (1) KUHD.
Selain itu dalam UU No. 22 Tahun 2009 terdapat beberapa hak-hak dari pihak pengangkut, yaitu:
1. Perusahaan angkutan umum berhak untuk menahan barang yang diangkut jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian angkutan (Pasal 195 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009).
2. Perusahaan angkutan umum berhak memungut biaya tambahan atas barang yang disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan (Pasal 195 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009).
3. Perusahaan angkutan umum berhak menjual barang yang diangkut secara lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban (Pasal 195 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009).
4. Jika barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau penerima sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, perusahaan angkutan umum berhak memusnahkan barang yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam penyimpanannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 196 UU No. 22 Tahun 2009).
Adapun yang menjadi kewajiban utama pihak penumpang dalam perjanjian pengangkutan adalah membayar biaya pengangkutan. Setelah membayar biaya pengangkutan kepada pihak pengangkut maka secara otomatis pihak penumpang berhak atas pelayanan pengangkutan dari pihak pengangkut.
Adapun yang menjadi kewajiban utama pihak pengirim dalam perjanjian pengangkutan adalah membayar biaya pengangkutan (Pasal 491 KUHD),selain itu pihak pengirim berkewajiban untuk memberitahukan tentang sifat, macam, dan harga barang yang akan diangkut (Pasal 469, 470 ayat (2), 479 ayat (1) KUHD), menyerahkan surat-surat yang diperlukan untuk pengangkutan barang tersebut (Pasal 478 ayat (1) KUHD).
Sedangkan hak-hak yang dimiliki oleh pihak pengirim barang antara lain menerima barang dengan selamat di tempat yang dituju, menerima barang pada saat yang sesuai dengan yang ditunjuk oleh perjanjian pengangkutan, dan berhak atas pelayanan pengangkutan barangnya.
2.    Tanggung Jawab Para Pihak dalam Perjanjian Pengangkutan
Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H. dalam bukunya Hukum Pengangkutan Niaga membagi tanggung jawab para pihak dalam perjanjian pengangkutan ke dalam 4 (empat) bagian yaitu tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan kereta api, tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan darat, tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan perairan, dan tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan udara.[6] Dan dalam bab ini yang akan dibahas adalah tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan darat.
Tanggung jawab pada hakikatnya terdiri dari dua aspek, yaitu tanggung jawab yang bersifat kewajiban yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya (responsibility) dan tanggung jawab ganti rugi (liability).[7] Perusahaan pengangkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang, pengirim atau pihak ketiga karena kelalaiannya dalam melaksanakan pelayanan pengangkutan. Selama pelaksanaan pengangkutan, keselamatan penumpang atau barang yang diangkut pada dasarnya berada dalam tanggung jawab perusahaan pengangkutan umum. Oleh karena itu, sudah sepatutnya apabila kepada perusahaan pengangkutan umum dibebankan tanggung jawab terhadap setiap kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim, yang timbul karena pengangkutan yang dilakukannya (Pasal 234 UU No. 22 Tahun 2009). Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum dapat menurunkan penumpang dan/atau barang yang diangkut pada tempat pemberhentian terdekat jika Penumpang dan/atau barang yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan (Pasal 190 UU No. 22 Tahun 2009).
Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan. Selain itu Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan Penumpang (Pasal 191 dan Pasal 192 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009).
C.  Kedudukan Hukum Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan Umum
Dalam pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ yang dimaksud penumpang adalah Penumpang adalah orang yang berada di Kendaraan selain Pengemudi dan awak Kendaraan. Dengan  mengikatkan diri setelah  membayar uang atau tiket angkutan umum sebagai kontraprestasi dalam perjanjian pengangkutan maka seseorang telah sah sebagai penumpang alat angkutan penumpang umum yang apabila mengalami kecelakaan diri, yang diakibatkan oleh penggunaan alat angkutan umum, selama penumpang yang bersangkutan berada dalam angkutan tersebut, yaitu saat naik dari tempat pemberangkatan sampai turun di tempat tujuan. Tiket penumpang adalah tanda bukti bahwa seseorang telaah membayar uang angkutan dan akibatnya berhak naik pesawat udara sebagai penumpang. Tiket penumpang juga menjadi tanda bukti telah ditutupnya perjanjian angkutan udara antara pengangkut dan penumpang. Jadi penumpang adalah salah satu pihak dalam perjanjian pengangkutan darat, sedangkan pihak lawannya adalah pengangkut darat. Tiket penumpang merupakan syarat dalam perjanjian pengangkutan darat, tetapi bukan merupakan syarat mutlak sebab tidak adanya tiket penumpang tidak berarti tidak adanya perjanjian pengangkutan.
Dengan adanya dasar hukum yakni :
·        UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
·        UU Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang.
·        PP Nomor 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang
·        UU Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan
·        PP Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan
Maka penumpang angkutan umum telah mendapat jaminan hukum atas keselamatannya jikalau pengangkut tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam pengangkutan orang yakni membawa atau mengangkut penumpang tersebut sampai di tempat tujuan dengan selamat.
D.  Hal-hal yang Dapat Menyebabkan Kerugian Bagi Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan Umum Akibat Kesalahan dari Pihak Pengangkut
Pada saat seseorang menjadi penumpang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat udara atau kapal dari perusahaan pengangkutan nasional, dia wajib membayar iuran (premi) pertanggungan wajib kecelakaan penumpang melalui pengusaha atau pemilik kendaraan yang bersangkutan (pasal 3 ayat (1) huruf a UU 33/64). Pada saat itu penumpang yang bersangkutan tidak hanya menutup perjanjian pengangkutan saja, tetapi sekaligus juga menutup perjanjian pertanggungan wajib kecelakaan penumpang. Sifat wajib ini menunjukkan unsur dari pemerintah. Unsur paksaan ini tertuju pada sistem jaminan sosial. Unsur paksaan ini bila sudah menjadi kebiasaan, tidak terasa lagi, sebaliknya tujuan paksaan ini tercapai yakni suatau sistem jaminan sosial dalam masyarakat Indonesia.[8]
Telah dikatakan di atas bahwa penumpang pada saat yang sama menutup perjanjian pengangkutan dan perjanjian pertanggungan. Dalam hal menutup perjanjian pertanggungan, penumpang bertindak sebagai tertanggung, sedangkan yang bertindak sebagai penanggung adalah perum asuransi kerugian Jasa Raharja (Pasal 8 PP 17/65). Kewajiban tertanggung ialah membayar iuran (premi) kepada penanggung dengan melalui pengusaha pengangkutan (Pasal 1 ayat (1) PP 17/65), sedangkan hak tertanggung ialah ganti kerugian, kalau dia menderita kecelakaan dalam pengangkutan, yakni:
·        Bila penumpang mati, atau
·        Penumpang mendapat cacat tetap akibat dari kecelakaan penumpang.
·        Penumpang mendapat luka-luka
Kewajiban penanggung ialah memberi ganti kerugian kepada tertanggung (penumpang), bila dia mati atau mendapat cacat teta akibat kecelakaan penumpang. Sedangkan hak penaggung ialah mendapat premi dari tertanggung dengan melalui pengusaha pengangkutan bersangkutan .
Berbeda dengan pertanggungan biasa yang sifatnya bebas bagi setiap orang untuk menutup perjanjian pertanggungan atau tidak, maka menutup perjanjian pertanggungan wajib kecelakaan penumpang ini sifatnya mutlak bagi setiap penumpang kendaraan umum.
Istilah ganti kerugian bagi penumpang yang mati itu sesungguhnya tidak tepat, sebab hilangnya nyawa seorang peumpang tidak dapat dinilai dengan uang, jadi tidak dapat diganti rugi dengan uang. Mengenai istilah “ganti rugi” bagi si mati tersebut saya lebih  suka menggantinya dengan istilah “uang duka”.[9]
Mengenai peristiwa yang sering terjadi akhir-akhir ini yakni pemerkosaan sopir angkutan umum terhadap penumpangnya di kendaraan angkutan mereka. Peristiwa ini merupakan tindak pidana yang kasusnya setelah dilaporkan akan ditindak oleh kepolisian. Sang sopir melakukan pertanggung jawaban pidana secara pribadi.
E.   Upaya Pengguna Jasa Angkutan Umum dalam Mendapatkan Perlindungan Hukum dan Ganti Rugi
Seperti dikatakan di atas, bahwa dengan melakukan kewajibannya yakni membayar uang atau tiket kepada pengangkut maka dengan sendirinya penumpang tersebut dengan sendirinya telah mendapat perlindungan atas keselamatannya yang dijamin oleh hukum.
Bila seorang penumpang mengajukan tuntutan ganti rugi karena luka atau lain-lainnya kepada pengangkut, cukuplah bila dia mendalilkan bahwa dia menderita luka disebabkan pengangkutan itu.[10] Jika tuntutan itu dibantah oleh dibantah oleh pengangkut, maka pengangkut harus membuktikan bahwa kelalaian atau kesalahan tidak ada padanya. Bila pembuktian pengangkut ini berhasil, maka giliran penumpang yang harus membuktikan adanya kelalaian atau kesalahan pada pengangkut.
Jadi kalau ada tuntutan ganti rugi dari penumpang yang menderita luka-luka, maka beban pembuktian terletak di atas pundak pengangkut, bahwa dia tidak lalai atau salah.
Dari uraian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan adanya azas bahwa pengangkut berkewajiban untuk mengangkut orang atau penumpang dengan selamat sampai di tempat tujuan (pasal 522 KUHD), sehingga dia bertanggung jawab atas segala kerugian atau luka-luka yang diderita oleh penumpang, yang disebabkan karena atau berhubung dengan pengangkutan yang diselenggarakan itu, kecuali bila pengangkut dapat mendiskulpir dirinya (pasal 1339 KUHPER bsd. Pasal 522 ayat (2) KUHD).
Di samping pendapat bahwa kewajiban pengangkut adalah mengangkut penumpang sampai di tempat tujuan dengan selamat atau dengan cara yang aman. Ada pendapat yang menetapkan kewajiban pengangkut hanya mengangkut penumpang sampai di tempat tujuan. Jadi, unsur “dengan selamat” atau “dengan cara yang aman” tidak termasuk dalam kewajiban pengangkut. Tetapi menurut pendapat yang kedua ini, pengangkut wajib secara pantas dan cukup berikhtiar untuk mencegah kecelakaan. Bila terjadi apa-apa yang merugikan penumpang, maka pengangkut dianggap berbuat melawan hukum terhadap penumpang. Dan penumpang yang menderita kerugian itu dapat menuntut ganti rugi kepada pengangkut berdasar pasal 1365 KUHPER.
Ketentuan bahwa pengangkut wajib secara pantas dan cukup berikhtiar untuk mencegah kecelakaan ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 1602-w, ayat (1) KEHPER yang berbunyi “Majikan diwajibkan untuk mengatur dan memelihara ruangan-ruangan, alat-alat atau perkakas-perkakas, dalam mana atau dengan mana ia menyeluruh melakukan pekerjaannya, begitu pula mengenai hal melakukan pekerjaan, majikan wajib mengadakan aturan-aturan dan memberikan petunjuk-petunjuk sedemikian rupa, sehingga si buruh terlindung terhadap bahaya-bahaya uang mengancam jiwa, kehormatan dan harta bendanya, begitu jauh bagaimana dapat dituntut sepantasnya berhubung dengan sifat pekerjaan yang dihadapinya”. Dari ketentuan itu dapat disimpulkan bahwa majikan berkewajiban secara pantas dan cukup berikhtiar untuk mencegah kecelakaan. Sedang pasal 1602-w ayat (2) KUHPER berbunyi “Apabila majikan tidak memenuhi kewajibannya seperti tersebut dalam ayat (1) di atas, dan kelalaian mana mengakibatkan kerugian bagi si buruh, maka majikan wajib memberi ganti rugi, kecuali bila majikan dapat membuktikan bahwa wanprestasinya itu disebabkan karena kelalaian si buruh sendiri. Jadi, beban pembuktian ada pada majikan, untuk mendiskulpir dirinya”
Syarat mutlak yang harus ada pada setiap tuntutan ganti rugi terhadap pengangkut ialah bahwa kerugian itu disebabkan oleh pengangkutan atau hal yang erat hubungannya dengan pengangkutan.
Mengenai besarnya jumlah ganti rugi, belaku azas-azas yang tercantum dalam pasal 1246, 1247, dan 1248 KUHPER, yang pada pokoknya mengganti yang hilang dan laba yang tidak diperolehnya, dengan batasan bahwa kerugian itu layak dapat diperkirakan pada saat perjanjian pengangkutan itu dibuat dan lagi pula kerugian itu harus merupakan akibat langsung dari wanprestasi pengangkut. Bagi kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang, misalnya cacat badan, cacat pada mukanya dan lain-lain, bekas penumpang itu tetap berhak untuk menuntut ganti rugi kepada pengangkut. Sudah tentu kalau perselisihan tentang besarnya jumlah ganti rugi, hanya hakimlah yang berwenang menentukannya.
Tuntutan untuk pembayaran asuransi dari kewajiban kita membayar tiket atau iuran kepada pengangkut yang disetor kepada Jasa Raharja ditujukan kepada Perum Asuransi Kerugian Jasa Raharja atau kepada instansi pemerintah lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan (pasal 16 PP 18/65). Adapun peraturan pembuktian dalam hal tuntutan pembayaran dana menurut hukum acara perdata biasa, kecuali dalam hal-hal:
1.      Dalam hal ada kematian
·      Proses perbal polisi lalu lintas atau pejabat lain yang berwenang tentang kecelakaan yang telah terjadi dengan alat angkutan lalu lintas jalan yang bersangkutan, yang menyebabkan kematian si pewaris menuntut
·      Putusan hakim atau pihak berwajib lain yang berwenang tentang pewarisan yang bersangkutan
·      Surat keterangan dokter dan bukti lain yang dianggap perlu guna pengesahan fakta kematian yang terjadi. Hubungan sebab musabab kematian tersebut dengan penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan dan hal-hal lain yang berguna bagi penentuan jumlah pembayaran dana yang harus diberikan (pasal 17 ayat (2) PP 18/65).
2.       Dalam hal si korban mendapat cacat tetap atau cedera
·        Proses perbal dari polisi lalu lintas atau pejabat lainnya yang berwenang tentang memproses perbal kecelakaan yang telah terjadi dengan alat angkutan lalu lintas jalan yang bersangkutan yang mengakibatkan cacat tetap pada si korban atau penuntut
·        Surat keterangan dokter tentang jenis cacat tetap atau cedera yang telah terjadi sebagai akibat kecelakaan lalu lintas jalan
·        Surat-surat bukti lain yang diangga perlu untuk pengesahan fakta cacat tetap atau cedera yang terjadi. Hubungan sebab musabab antara cacat tetap dengan penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan dan hal-hal lain yang berguna bagi penentuan jumlah pembayaran dana yang harus diberikan kepada si korban (pasal 17 ayat (2) b PP 18/65)
Tuntutan ganti rugi ini ada pengecualiannya, yaitu:
  • Jika korban atau ahli warisnya telah memperoleh jaminan berdasarkan UU 34/1964
  • Bunuh diri, percobaan bunuh diri atau sesuatu kesengajaan lain pada pihak korban atau ahli waris
  • Kecelakaan-kecelakaan yang terjadi pada waktu korban sedang dalam keadaan mabuk atau tak sadar, melakukan perbuatan kejahatan ataupun diakibatkan oleh atau terjadi karena korban memiliki cacat badan atau keadaan badaniah atau rohaniah biasa lain.
BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa penumpang berhak untuk mendapat jaminan keselamatan selama menggunakan alat angkutan umum. Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan. Selain itu Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan Penumpang. Dengan pembayaran uang atau tiket kepada pengangkut yang disetorkan ke PT Jasa Raharja Persero, maka penumpang berhak atas ganti rugi atau asuransi dari Jasa Raharja kalau dia menderita kecelakaan dalam pengangkutan, yakni:
·           Bila penumpang mati, atau
·           Penumpang mendapat cacat tetap akibat dari kecelakaan penumpang.
·           Penumpang mendapat luka-luka
Dan semua hal di atas telah ada dasar hukumnya yakni:
·        UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
·        UU Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang.
·        PP Nomor 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang
·        UU Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan
·        PP Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan
B.       Saran
Sebaiknya penumpang atau ahli waris penumpang tidak usah takut lagi kalau menuntut ganti rugi atas kecelakaan yang terjadi di dalam atau diakibatkan angkutan umum. Karena hal tersebut merupakan hak mereka dan upaya yang dilakukan seperti yang telah diuraikan di atas cukup mudah serta mempunyai dasar hukum yang kuat. Apabila laporan atau tuntutan ganti rugi tidak digubris oleh Jasa Raharja, penulis  menyarankana agar penumpang atau ahli waris penumpang melaporkannya ke Ombudsman. 
                                                               
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Hasnil. 2002. Hukum Pengangkutan. Medan: Kelompok Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Kansil, C. S. T. 2006. Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Muhammad, Abdulkadir. 1998. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Purba, Hasim. 2005. Hukum Pengangkutan di Laut. Medan: Pusaka Bangsa.
Purwosutjipto, H. M. N. 1981. Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia: Hukum Pengangkutan. Jakarta: Djambatan.
Purwosutjipto, H. M. N. 2008. Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum Pengangkutan. Jakarta: Djambatan.
hukumonline.com, Hukum Pengangkutan, diakses pada tanggal 27 Desember 2012
nuepoel.wordpress.com, Asuransi Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Dan Penumpang Umum, diakses pada tanggal 27 Desember 2012


[1] H. M. N. Purwosutjipto, Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia: Hukum Pengangkutan.  (Jakarta: Djambatan, 1981).  hlm. 1 
[2] H. M. N. Purwosutjipto, Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia:Hukum Pengangkutan.  (Jakarta: Djambatan, 1981).  hlm. 2 
[3] Hasnil Basri, Hukum Pengangkutan. ( Medan: Kelompok Studi Hukum Fakultas Hukum USU, 2002)  hlm. 22-27.
[4] C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata. (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006). hlm. 1
[5] H. M. N. Purwosutjipto, Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum Pengangkutan.  (Jakarta: Djambatan, 1981). hlm. 21-22
[6] Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga. (Bandung: Citra Aditya Bakti,1998)  hlm. 37
[7] Hasim Purba. Hukum Pengangkutan di Laut. (Medan: Pusaka Bangsa, 2005) hlm. 101
[8] H. M. N. Purwosutjipto, Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum Pengangkutan. (Jakarta: Djambatan, 2008).  hlm. 64 
[9] H. M. N. Purwosutjipto, Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum Pengangkutan. (Jakarta: Djambatan, 2008).  hlm. 64 
[10] H. M. N. Purwosutjipto, Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum Pengangkutan. (Jakarta: Djambatan, 2008).  hlm. 52