NAMA : AYU SARTIKA DEWI
NPM : 1431123300040104
DIBUAT UNTUK MEMENUHI TUGAS HUKUM TRANSPORTASI
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Melihat Letak geografis Indonesia yang
sangat strategis yakni terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan
dua samudera (Hindia dan Pasifik) menentukan posisi dan peran Indonesia dalam
hubungan antar bangsa, apalagi dengan kekayaan wilayah Indonesia yang terdiri
dari ribuan pulau. Oleh karena itu untuk mempelancar roda perekonomian,
menjaga, dan memperkokoh persatuan dan kesatuan, serta mempelancar hubungan
dengan negara lain, dibutuhkan sistem transportasi yang memadai. Dalam sistem
transportasi juga berperan sebagai penunjang, pendorong dan penggerak bagi
pertumbuhan daerah yang berpotensi namun belum berkembang, dalam upaya
peningkatan dan pemerataan pembangunan yang dapat berdampak sistemik.
Perann penting jasa transportasi ini
dapat dilihat dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan bagi
mobilitas orang serta barang dari dan ke seluruh pelosok tanah air. Menyadari
begitu besarnya peran transportasi, maka transportasi perlu untuk ditata dalam
suatu sistem transportasi nasional yang terpadu untuk mewujudkan tersedianya
jasa transportasi yang aman, nyaman, cepat, teratur, dan dengan biaya yang
dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Alat transportasi di Indonesia meliputi
transportasi darat, laut, dan udara. Ketiga alat transportasi tersebut memang
memegang peranan yang sangat penting dan saling mengisi dalam menjalankan
fungsi sebagai alat angkut orang maupun barang. Pengangkutan dalam kehidupan
masyarakat mempunyai peran yang sangat penting, karena didalam pengangkutan
hampir semua kegiatan ekonomi dan kegiatan masyarakat pada umumnya dapat
berjalan secara lancar.
Peranan pengangkutan di dalam dunia
perdagangan bersifat mutlak, sebab tanpa pengangkutan, perusahaan tidak mungkin
dapat berjalan. Barang-barang yang dihasilkan oleh produsen atau pabrik-pabrik
dapat sampai di tangan pedagang atau pengusaha hanya dengan jalan pengangkutan,
dan seterusnya dari pedagang atau pengusaha kepada konsumen juga harus
menggunakan jasa pengangkutan. Pengangkutan di sini dapat dilakukan oleh orang,
kendaraan yang ditarik oleh binatang, kendaraan bermotor, kereta api, kapal
laut, kapal sungai, pesawat udara dan lain-lain.
Masalah yang ada sekarang adalah terkait
dengan penyediaan alat transportasi masal yang memadai, nyaman, aman, murah,
serta tepat waktu. Dengan terpenuhinya hal tersebut maka sudah pasti akan turut
meningkatkan kemakmuran masyarakat. Karena dengan hal tersebut, jasa
pengangkutan menjadi lebih efisien dan menghemat waktu.
Pembahasan
pembangunan aspek hukum transportasi tidak terlepas dari efektivitas hukum
pengangkutan itu sendiri. Pengangkutan di Indonesia diatur dalam KUH Perdata
pada Buku Ketiga tentang perikatan, kemudian dalam KUH Dagang pada Buku II
titel ke V. Selain itu pemerintah telah mengeluarkan kebijakan di bidang
transportasi darat yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai Pengganti UU No. 14 Tahun 1992, serta Peraturan
Pemerintah No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan yang masih tetap berlaku
meskipun PP No. 41 Tahun 1993 merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 14
tahun 1992 dikarenakan disebutkan dalam Pasal 324 UU No. 22 Tahun 2009
Adapun Asas
penyelenggaraan lalu lintas adalah diatur dalam Pasal 2 UULLAJ yakni:
a.
asas
transparan
b.
asas akuntabel
c.
asas berkelanjutan
d.
asas partisipatif
e.
asas bermanfaat
f.
asas efisien dan efektif
g.
asas seimbang
h.
asas terpadu
i. asas mandiri.
Sedangkan
Pasal 3 UULLAJ menyebutkan mengenai tujuan dari Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
yakni :
a.
Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat,
tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong
perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan
kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;
b.
Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
c.
Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Menurut Pasal
4 UULLAJ dinyatakan undang-undang ini berlaku untuk membina dan
menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan
lancar melalui:
a.
kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan;
b.
kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan; dan
c.
kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor
dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas,
serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Demikian
juga dalam Pasal 9 UULLAJ tentang Tata Cara Berlalu Lintas bagi Pengemudi
Kendaraan Bermotor Umum serta Pasal 141 UULAJ tentang standar pelayanan
angkutan orang dan masih banyak pasal-pasal lainnya yang terkait dengan adanya
upaya memberikan penyelenggaraan jasa angkutan bagi pengguna jasa atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan pemakai jasa angkutan.
Dengan berlakunya
UU No. 22 Tahun 2009 tersebut diharapkan dapat membantu mewujudkan kepastian
hukum bagi pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan jasa angkutan, baik
itu pengusaha angkutan, pekerja (sopir/ pengemudi) serta penumpang. Secara
operasional kegiatan penyelenggaraan pengangkutan dilakukan oleh pengemudi atau
sopir angkutan dimana pengemudi merupakan pihak yang mengikatkan diri untuk
menjalankan kegiatan pengangkutan atas perintah pengusaha angkutan atau
pengangkut. Pengemudi dalam menjalankan tugasnya mempunyai tanggung jawab untuk
dapat melaksanakan kewajibannya yaitu mengangkut penumpang sampai pada tempat
tujuan yang telah disepakati dengan selamat, artinya dalam proses pemindahan
tersebut dari satu tempat ke tempat tujuan dapat berlangsung tanpa hambatan dan
penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya, luka, sakit maupun meninggal
dunia. Sehingga tujuan pengangkutan dapat terlaksana dengan lancar dan sesuai
dengan nilai guna masyarakat.
Namun dalam
kenyataannya masih sering pengemudi angkutan melakukan tindakan yang dinilai
dapat menimbulkan kerugian bagi penumpang, baik itu kerugian yang secara nyata
dialami oleh penumpang (kerugian materiil), maupun kerugian yang secara
immateriil seperti kekecewaan dan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh
penumpang. Misalnya saja tindakan pengemudi yang mengemudi secara tidak wajar
dalam arti saat menjalani tugasnya pengemudi dipengaruhi oleh keadaan sakit,
lelah, meminum sesuatu yang dapat mempengaruhi kemampuannya mengemudikan
kendaraan secara ugal-ugalan sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan dan
penumpang yang menjadi korban. Hal ini tentu saja melanggar pasal 23 ayat 1 (a)
UULLAJ. Tindakan lainnya adalah pengemudi melakukan penarikan tarif yang tidak
sesuai dengan tarif resmi, hal ini tentu saja melanggar pasal 42 UULLAJ tentang
tarif. Atau tindakan lain seperti menurunkan di sembarang tempat yang
dikehendaki tanpa suatu alasan yang jelas, sehingga tujuan pengangkutan yang
sebenarnya diinginkan oleh penumpang menjadi tidak terlaksana. Hal ini tentu
saja melanggar ketentuan
Pasal 45 (1) UULLAJ mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap
penumpang yang dimulai sejak diangkutnya penumpang sampai di tempat tujuan. Dan
adanya perilaku pengangkut yang mengangkut penumpang melebihi kapasitas
maksimum kendaraan.
Dengan
melihat kenyataan tersebut, dapat diketahui bahwa dalam sektor pelayanan
angkutan umum masih banyak menyimpan permasalahan klasik. Dan dalam hal ini
pengguna jasa (penumpang) sering menjadi korban daripada perilaku pengangkut
yang tidak bertanggung jawab.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan hukum pengguna
jasa (penumpang) angkutan umum?
2. Hal-hal apa yang dapat menyebabkan
kerugian bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum akibat kesalahan dari
pihak pengangkut?
3. Bagaimana Upaya Pengguna Jasa Angkutan
Umum dalam mendapatkan Perlindungan Hukum dan ganti rugi?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Hukum Transportasi. selain itu berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di
atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan hukum pengguna
jasa (penumpang) angkutan umum.
2.
Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna
jasa (penumpang) melalui angkutan umum akibat kesalahan dari pihak pengangkut
dan bagaimana tanggung jawab pihak pengangkut terhadap kesalahan yang
mengakibatkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum.
3. Untuk
mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap pengguna jasa (penumpang)
angkutan umum sebagai konsumen fasilitas publik transportasi berdasarkan UU No.
22 Tahun 2009.
4. Untuk mengetahui upaya
pengguna jasa angkutan umum dalam mendapatkan perlindungan hukum
Sedangkan
manfaat dari penulisan ini adalah untuk menambah pengetahuan penulis dan
pembaca tentang bagaimana perlindungan hukum terhadap pengguna jasa (penumpang)
melalui jalan umum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pengangkutan
Istilah
“Pengangkutan” berasal dari kata “angkut” yang berarti “mengangkut dan
membawa”, sedangkan istilah “pengangkutan” dapat diartikan sebagai “pembawaan
barang-barang atau orang-orang (penumpang)”.
Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik
antara pengangkut dengan pengirim dimana pengangkut mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat
tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk
membayar uang angkutan.[1]
Pada
pokoknya pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda
maupun orang-orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan
meninggikan manfaat serta efisiensi.
Pembagian
jenis-jenis pengangkutan pada umunya didasarkan pada jenis alat angkut yang
dipergunakan dan keadaan geografis yang menjadi wilayah tempat berlangsungnya
kegiatan pengangkutan. Menurut H.M.N Purwosutjipto dalam bukunya Pengertian
Pokok Hukum Dagang Indonesia, jenis-jenis pengangkutan terdiri dari
pengangkutan darat, pengangkutan laut, pengangkutan udara, dan pengangkutan
perairan darat.[2]
Secara
Umum, jenis atau moda pengangkutan ada tiga, yaitu pengangkutan darat,
pengangkutan laut, dan pengangkutan udara.[3]
Dalam
makalah ini khusus akan dibahas mengenai perlindungan hukum terhadap penumpang
dalam pengangkutan melalui jalan umum atau angkutan umum, yang tak lain adalah
pengangkutan darat.
Mengenai
istilah jalan umum di sini dimaksudkan semua jalan yang bukan jalan kereta api,
yang bisa dilalui oleh umum (setiap orang) dan kendaraan bermotor. Alat
pengangkutan yang dipergunakan di atas jalan umum ini ialah kendaraan bermotor.
B. Perjanjian
Pengangkutan
Dalam bahasa Belanda, perjanjian disebut juga overeenkomst
dan hukum perjanjian disebut overeenkomstenrech.[4] Hukum
perjanjian diatur dalam buku III BW (KUHPerdata). Pada pasal 1313 KUHPerdata, dikemukakan
tentang defenisi daipada perjanjian. Menurut ketentuan pasal ini, “perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih”.
Pengangkutan sebagai perjanjian selalu didahului oleh kesepakatan
antara pihak pengangkut dan pihak penumpang atau pengirim. Kesepakatan tersebut
pada dasarnya berisi kewajiban dan hak, baik pengangkut dan penumpang maupun
pengirim.
Perjanjian pengangkutan adalah persetujuan di mana pihak
pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang
dan/atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan
penumpang atau pemilik barang mengikatkan diri untuk membayar biaya
pengangkutan.
Pasal 90 KUHD
itu menentukan bahwa surat muatan (vrachtbrief) merupakan perjanjian antara
pengirim dan pengangkut. Jadi, menurut pasal 90 KUHD, perjanjian pengangkutan
tidak bersifat konsensuil, tetapi tertulis. Padahal kenyataannya perjanjian
pengangkutan itu bersifat konsensuil, artinya untuk terjadinya perjanjian
pengangkutan cukup bila ada persetujuan kehendak antara pengirim dan
pengangkut, tidak perlu surat muatan atau akta lain. Surat muatan ini hanya
merupakan salah satu alat pembuktian tentang adanya perjanjian pengangkutan.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan para pihak menginginkan perjanjian
pengangkutan dilakukan secara tertulis, yaitu:
a. Kedua belah pihak ingin memperoleh kepastian mengenai hak dan
kewajiban masing-masing.
b. Kejelasan rincian mengenai objek,
tujuan, dan beban risiko para pihak.
c. Kepastian dan kejelasan cara pembayaran dan penyerahan barang.
d. Menghindari berbagai macam tafsiran arti kata dan isi
perjanjian,
e. Kepastian mengenai waktu, tempat dan alasan apa perjanjian
berakhir.
f. Menghindari konflik pelaksanaan perjanjian akibat
ketidakjelasan maksud yang dikehendaki para pihak.
1. Hak dan Kewajiban Para
Pihak dalam Perjanjian Pengangkutan
Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum
pengangkutan adalah pendukung hak dan kewajiban dalam hubungan hukum
pengangkutan, yaitu pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam proses
perjanjian sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan.
Pihak-pihak yang yang terlibat di dalam
perjanjian pengangkutan antara lain:
a. Pihak pengangkut,
Secara umum, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD)
tidak dijumpai defenisi pengangkut, kecuali dalam pengangkutan laut. Akan
tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengangkut adalah
pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan orang
(penumpang) dan/atau barang. b. Pihak Penumpang, Peraturan pengangkutan di
Indonesia menggunakan istilah “orang” untuk pengangkutan penumpang. Akan
tetapi, rumusan mengenai “orang” secara umum tidak diatur. Dilihat dari pihak
dalam perjanjian pengangkutan orang, penumpang adalah orang yang mengikatkan
diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas dasar ini dia berhak untuk
memperoleh jasa pengangkutan. c. Pihak Pengirim, Kitab Undang-Undang Hukum
dagang (KUHD) Indonesia juga tidak mengatur defenisi pengirim secara umum. Akan
tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak
yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan barang dan atas dasar
itu dia berhak memperoleh pelayanan pengangkutan barang dari pengangkut. Dalam
bahasa inggris, pengirim disebut consigner, khusu pada pengangkutan
perairan pengangkut disebut shipper.
Menurut H.M.N Purwosutjipto, kewajiban-kewajiban dari pihak
pengangkut adalah[5]
1. Menyediakan alat pengangkut yang akan digunakan untuk
menyelenggarakan pengangkutan .
2. Menjaga keselamatan orang (penumpang) dan/ atau barang yang
diangkutnya. Dengan demikian maka sejak pengangkut menguasai orang (penumpang)
dan/ atau barang yang akan diangkut, maka sejak saat itulah pihak pengangkut
mulai bertanggung jawab (Pasal 1235 KUHPerdata).
3. Kewajiban yang disebutkan dalam Pasal 470 KUHD yang meliputi:
a. Mengusahakan pemeliharaan, perlengkapan atau
peranakbuahan alat pengangkutnya;
b. Mengusahakan kesanggupan alat pengangkut itu
untuk dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan;
c. Memperlakukan dengan baik dan melakukan penjagaan atas muatan
yang diangkut.
4. Menyerahkan muatan ditempat tujuan sesuai dengan waktu yang
telah ditetapkan dalam perjanjian.
Menurut Pasal 124 ayat (1) UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi
pengenudi kendaraan bermotor umum, yaitu:
1. Mengangkut Penumpang yang membayar sesuai dengan tarif yang
telah ditetapkan;
2. Memindahkan penumpang dalam perjalanan ke Kendaraan lain yang
sejenis dalam trayek yang sama tanpa dipungut biaya tambahan jika Kendaraan
mogok, rusak, kecelakaan, atau atas perintah petugas;
3. Menggunakan lajur Jalan yang telah ditentukan atau menggunakan
lajur paling kiri, kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah;
4.Memberhentikan kendaraan selama menaikkan dan/atau menurunkan
Penumpang;
5. Menutup pintu selama Kendaraan berjalan; dan
6. Mematuhi batas kecepatan paling tinggi untuk angkutan umum.
Selain itu di dalam UU No. 22 tahun 2009 terdapat beberapa
kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan angkutan umum, yaitu:
1. Menyerahkan tiket penumpang (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009);
2. Menyerahkan tanda bukti pembayaran pengangkutan untuk angkutan
tidak dalam trayek (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009);
3. Menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada Penumpang (Pasal 167
UU No. 22 Tahun 2009);
4. Menyerahkan manifes kepada pengemudi Penumpang (Pasal 167 UU
No. 22 Tahun 2009);
5. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengangkut orang dan/atau barang
setelah disepakati perjanjian angkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya
angkutan oleh Penumpang dan/atau pengirim barang (Pasal 186 UU No. 22 tahun
2009);
6. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengembalikan biaya angkutan
yang telah dibayar oleh Penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi
pembatalan pemberangkatan (Pasal 187 UU No. 22 tahun 2009);
7. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita
oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan
angkutan (Pasal 188 UU No. 22 tahun 2009);
8. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan tanggung
jawabnya (Pasal 189 UU No. 22 tahun 2009);
Di samping kewajiban yang dibebankan kepada pengangkut oleh
undang-undang, terdapat juga hak-hak yang diberikan kepada pengangkut. Hak-hak
yang dimiliki oleh pihak pengangkut, antara lain:
1. Pihak pengangkut berhak menerima biaya pengangkutan.
2. Pemberitahuan dari pengirim mengenai sifat, macam dan harga
barang yang akan diangkut, yang disebutkan dalam Pasal 469, 470 ayat (2), 479
ayat (1) KUHD.
3. Penyerahan surat-surat yang diperlukan dalam rangka mengangkut
barang yang diserahkan oleh pengirim kepada pengangkut berdasarkan Pasal 478
ayat (1) KUHD.
Selain itu dalam UU No. 22 Tahun 2009 terdapat beberapa hak-hak
dari pihak pengangkut, yaitu:
1. Perusahaan angkutan umum berhak untuk menahan barang yang
diangkut jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban dalam batas waktu
yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian angkutan (Pasal 195 ayat (1) UU No. 22
Tahun 2009).
2. Perusahaan angkutan umum berhak memungut biaya tambahan atas
barang yang disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan (Pasal 195
ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009).
3. Perusahaan angkutan umum berhak menjual barang yang diangkut
secara lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jika
pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban (Pasal 195 ayat (3) UU No. 22
Tahun 2009).
4. Jika barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau penerima
sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, perusahaan angkutan umum
berhak memusnahkan barang yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam
penyimpanannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 196
UU No. 22 Tahun 2009).
Adapun yang menjadi kewajiban utama pihak penumpang dalam
perjanjian pengangkutan adalah membayar biaya pengangkutan. Setelah membayar
biaya pengangkutan kepada pihak pengangkut maka secara otomatis pihak penumpang
berhak atas pelayanan pengangkutan dari pihak pengangkut.
Adapun yang menjadi kewajiban utama pihak pengirim dalam
perjanjian pengangkutan adalah membayar biaya pengangkutan (Pasal 491
KUHD),selain itu pihak pengirim berkewajiban untuk memberitahukan tentang
sifat, macam, dan harga barang yang akan diangkut (Pasal 469, 470 ayat (2), 479
ayat (1) KUHD), menyerahkan surat-surat yang diperlukan untuk pengangkutan
barang tersebut (Pasal 478 ayat (1) KUHD).
Sedangkan hak-hak yang dimiliki oleh pihak pengirim barang antara
lain menerima barang dengan selamat di tempat yang dituju, menerima barang pada
saat yang sesuai dengan yang ditunjuk oleh perjanjian pengangkutan, dan berhak
atas pelayanan pengangkutan barangnya.
2.
Tanggung Jawab Para Pihak dalam
Perjanjian Pengangkutan
Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H. dalam bukunya Hukum Pengangkutan
Niaga membagi tanggung jawab para pihak dalam perjanjian pengangkutan ke dalam
4 (empat) bagian yaitu tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan kereta api,
tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan darat, tanggung jawab para pihak
dalam pengangkutan perairan, dan tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan
udara.[6] Dan
dalam bab ini yang akan dibahas adalah tanggung jawab para pihak dalam
pengangkutan darat.
Tanggung jawab pada hakikatnya terdiri dari dua aspek, yaitu
tanggung jawab yang bersifat kewajiban yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya (responsibility)
dan tanggung jawab ganti rugi (liability).[7] Perusahaan
pengangkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang,
pengirim atau pihak ketiga karena kelalaiannya dalam melaksanakan pelayanan
pengangkutan. Selama pelaksanaan pengangkutan, keselamatan penumpang atau
barang yang diangkut pada dasarnya berada dalam tanggung jawab perusahaan
pengangkutan umum. Oleh karena itu, sudah sepatutnya apabila kepada perusahaan
pengangkutan umum dibebankan tanggung jawab terhadap setiap kerugian yang
diderita oleh penumpang atau pengirim, yang timbul karena pengangkutan yang
dilakukannya (Pasal 234 UU No. 22 Tahun 2009). Pengemudi Kendaraan Bermotor
Umum dapat menurunkan penumpang dan/atau barang yang diangkut pada tempat
pemberhentian terdekat jika Penumpang dan/atau barang yang diangkut dapat membahayakan
keamanan dan keselamatan angkutan (Pasal 190 UU No. 22 Tahun 2009).
Perusahaan
Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala
perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan.
Selain itu Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan
angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau
dihindari atau karena kesalahan Penumpang (Pasal 191 dan Pasal 192 ayat (1) UU
No. 22 Tahun 2009).
C. Kedudukan
Hukum Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan Umum
Dalam pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang LLAJ yang dimaksud penumpang adalah Penumpang
adalah orang yang berada di Kendaraan selain Pengemudi dan awak Kendaraan.
Dengan mengikatkan diri setelah membayar uang atau tiket angkutan umum
sebagai kontraprestasi dalam perjanjian pengangkutan maka seseorang telah sah
sebagai penumpang alat angkutan penumpang umum yang apabila mengalami
kecelakaan diri, yang diakibatkan oleh penggunaan alat angkutan umum, selama
penumpang yang bersangkutan berada dalam angkutan tersebut, yaitu saat naik
dari tempat pemberangkatan sampai turun di tempat tujuan. Tiket penumpang
adalah tanda bukti bahwa seseorang telaah membayar uang angkutan dan akibatnya
berhak naik pesawat udara sebagai penumpang. Tiket penumpang juga menjadi tanda
bukti telah ditutupnya perjanjian angkutan udara antara pengangkut dan
penumpang. Jadi penumpang adalah salah satu pihak dalam perjanjian pengangkutan
darat, sedangkan pihak lawannya adalah pengangkut darat. Tiket penumpang
merupakan syarat dalam perjanjian pengangkutan darat, tetapi bukan merupakan
syarat mutlak sebab tidak adanya tiket penumpang tidak berarti tidak adanya
perjanjian pengangkutan.
Dengan adanya dasar hukum yakni :
·
UU
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
·
UU
Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang.
·
PP
Nomor 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib
Kecelakaan Penumpang
·
UU
Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan
·
PP
Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas
Jalan
Maka penumpang angkutan umum telah mendapat
jaminan hukum atas keselamatannya jikalau pengangkut tidak dapat melaksanakan
kewajibannya dalam pengangkutan orang yakni membawa atau mengangkut penumpang
tersebut sampai di tempat tujuan dengan selamat.
D. Hal-hal
yang Dapat Menyebabkan Kerugian Bagi Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan Umum
Akibat Kesalahan dari Pihak Pengangkut
Pada saat seseorang menjadi penumpang sah
dari kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat udara atau kapal dari
perusahaan pengangkutan nasional, dia wajib membayar iuran (premi) pertanggungan
wajib kecelakaan penumpang melalui pengusaha atau pemilik kendaraan yang
bersangkutan (pasal 3 ayat (1) huruf a UU 33/64). Pada saat itu penumpang yang
bersangkutan tidak hanya menutup perjanjian pengangkutan saja, tetapi sekaligus
juga menutup perjanjian pertanggungan wajib kecelakaan penumpang. Sifat wajib
ini menunjukkan unsur dari pemerintah. Unsur paksaan ini tertuju pada sistem
jaminan sosial. Unsur paksaan ini bila sudah menjadi kebiasaan, tidak terasa
lagi, sebaliknya tujuan paksaan ini tercapai yakni suatau sistem jaminan sosial
dalam masyarakat Indonesia.[8]
Telah dikatakan di atas bahwa penumpang pada
saat yang sama menutup perjanjian pengangkutan dan perjanjian pertanggungan.
Dalam hal menutup perjanjian pertanggungan, penumpang bertindak sebagai
tertanggung, sedangkan yang bertindak sebagai penanggung adalah perum asuransi
kerugian Jasa Raharja (Pasal 8 PP 17/65). Kewajiban tertanggung ialah membayar
iuran (premi) kepada penanggung dengan melalui pengusaha pengangkutan (Pasal 1
ayat (1) PP 17/65), sedangkan hak tertanggung ialah ganti kerugian, kalau dia
menderita kecelakaan dalam pengangkutan, yakni:
·
Bila
penumpang mati, atau
·
Penumpang
mendapat cacat tetap akibat dari kecelakaan penumpang.
·
Penumpang
mendapat luka-luka
Kewajiban penanggung ialah memberi ganti
kerugian kepada tertanggung (penumpang), bila dia mati atau mendapat cacat teta
akibat kecelakaan penumpang. Sedangkan hak penaggung ialah mendapat premi dari
tertanggung dengan melalui pengusaha pengangkutan bersangkutan .
Berbeda dengan pertanggungan biasa yang
sifatnya bebas bagi setiap orang untuk menutup perjanjian pertanggungan atau
tidak, maka menutup perjanjian pertanggungan wajib kecelakaan penumpang ini
sifatnya mutlak bagi setiap penumpang kendaraan umum.
Istilah ganti kerugian bagi penumpang yang
mati itu sesungguhnya tidak tepat, sebab hilangnya nyawa seorang peumpang tidak
dapat dinilai dengan uang, jadi tidak dapat diganti rugi dengan uang. Mengenai
istilah “ganti rugi” bagi si mati tersebut saya lebih suka menggantinya dengan istilah “uang duka”.[9]
Mengenai peristiwa yang sering terjadi
akhir-akhir ini yakni pemerkosaan sopir angkutan umum terhadap penumpangnya di
kendaraan angkutan mereka. Peristiwa ini merupakan tindak pidana yang kasusnya
setelah dilaporkan akan ditindak oleh kepolisian. Sang sopir melakukan
pertanggung jawaban pidana secara pribadi.
E.
Upaya Pengguna Jasa Angkutan Umum dalam
Mendapatkan Perlindungan Hukum dan Ganti Rugi
Seperti dikatakan di atas, bahwa dengan
melakukan kewajibannya yakni membayar uang atau tiket kepada pengangkut maka
dengan sendirinya penumpang tersebut dengan sendirinya telah mendapat
perlindungan atas keselamatannya yang dijamin oleh hukum.
Bila seorang penumpang mengajukan tuntutan
ganti rugi karena luka atau lain-lainnya kepada pengangkut, cukuplah bila dia
mendalilkan bahwa dia menderita luka disebabkan pengangkutan itu.[10]
Jika tuntutan itu dibantah oleh dibantah oleh pengangkut, maka pengangkut harus
membuktikan bahwa kelalaian atau kesalahan tidak ada padanya. Bila pembuktian
pengangkut ini berhasil, maka giliran penumpang yang harus membuktikan adanya
kelalaian atau kesalahan pada pengangkut.
Jadi kalau ada tuntutan ganti rugi dari
penumpang yang menderita luka-luka, maka beban pembuktian terletak di atas pundak
pengangkut, bahwa dia tidak lalai atau salah.
Dari uraian tersebut di atas, dapat diambil
kesimpulan adanya azas bahwa pengangkut berkewajiban untuk mengangkut orang
atau penumpang dengan selamat sampai di tempat tujuan (pasal 522 KUHD),
sehingga dia bertanggung jawab atas segala kerugian atau luka-luka yang
diderita oleh penumpang, yang disebabkan karena atau berhubung dengan
pengangkutan yang diselenggarakan itu, kecuali bila pengangkut dapat
mendiskulpir dirinya (pasal 1339 KUHPER bsd. Pasal 522 ayat (2) KUHD).
Di samping pendapat bahwa kewajiban
pengangkut adalah mengangkut penumpang sampai di tempat tujuan dengan selamat
atau dengan cara yang aman. Ada pendapat yang menetapkan kewajiban pengangkut
hanya mengangkut penumpang sampai di tempat tujuan. Jadi, unsur “dengan
selamat” atau “dengan cara yang aman” tidak termasuk dalam kewajiban
pengangkut. Tetapi menurut pendapat yang kedua ini, pengangkut wajib secara
pantas dan cukup berikhtiar untuk mencegah kecelakaan. Bila
terjadi apa-apa yang merugikan penumpang, maka pengangkut dianggap berbuat
melawan hukum terhadap penumpang. Dan penumpang yang menderita kerugian itu
dapat menuntut ganti rugi kepada pengangkut berdasar pasal 1365 KUHPER.
Ketentuan
bahwa pengangkut wajib secara pantas dan cukup berikhtiar untuk mencegah
kecelakaan ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 1602-w, ayat
(1) KEHPER yang berbunyi “Majikan diwajibkan untuk mengatur dan memelihara
ruangan-ruangan, alat-alat atau perkakas-perkakas, dalam mana atau dengan mana
ia menyeluruh melakukan pekerjaannya, begitu pula mengenai hal melakukan
pekerjaan, majikan wajib mengadakan aturan-aturan dan memberikan
petunjuk-petunjuk sedemikian rupa, sehingga si buruh terlindung terhadap
bahaya-bahaya uang mengancam jiwa, kehormatan dan harta bendanya, begitu jauh
bagaimana dapat dituntut sepantasnya berhubung dengan sifat pekerjaan yang
dihadapinya”. Dari ketentuan itu dapat disimpulkan bahwa majikan berkewajiban
secara pantas dan cukup berikhtiar untuk mencegah kecelakaan. Sedang pasal
1602-w ayat (2) KUHPER berbunyi “Apabila majikan tidak memenuhi kewajibannya
seperti tersebut dalam ayat (1) di atas, dan kelalaian mana mengakibatkan
kerugian bagi si buruh, maka majikan wajib memberi ganti rugi, kecuali bila
majikan dapat membuktikan bahwa wanprestasinya itu disebabkan karena kelalaian
si buruh sendiri. Jadi, beban pembuktian ada pada majikan, untuk mendiskulpir
dirinya”
Syarat
mutlak yang harus ada pada setiap tuntutan ganti rugi terhadap pengangkut ialah
bahwa kerugian itu disebabkan oleh pengangkutan atau hal yang erat hubungannya
dengan pengangkutan.
Mengenai
besarnya jumlah ganti rugi, belaku azas-azas yang tercantum dalam pasal 1246,
1247, dan 1248 KUHPER, yang pada pokoknya mengganti yang hilang dan laba yang
tidak diperolehnya, dengan batasan bahwa kerugian itu layak dapat diperkirakan
pada saat perjanjian pengangkutan itu dibuat dan lagi pula kerugian itu harus
merupakan akibat langsung dari wanprestasi pengangkut. Bagi kerugian yang tidak
dapat dinilai dengan uang, misalnya cacat badan, cacat pada mukanya dan
lain-lain, bekas penumpang itu tetap berhak untuk menuntut ganti rugi kepada
pengangkut. Sudah tentu kalau perselisihan tentang besarnya jumlah ganti rugi,
hanya hakimlah yang berwenang menentukannya.
Tuntutan
untuk pembayaran asuransi dari kewajiban kita membayar tiket atau iuran kepada
pengangkut yang disetor kepada Jasa Raharja ditujukan kepada Perum Asuransi
Kerugian Jasa Raharja atau kepada instansi pemerintah lain yang ditunjuk oleh
menteri keuangan (pasal 16 PP 18/65). Adapun peraturan pembuktian dalam hal
tuntutan pembayaran dana menurut hukum acara perdata biasa, kecuali dalam
hal-hal:
1. Dalam hal ada kematian
· Proses perbal polisi lalu lintas atau pejabat
lain yang berwenang tentang kecelakaan yang telah terjadi dengan alat angkutan
lalu lintas jalan yang bersangkutan, yang menyebabkan kematian si pewaris
menuntut
· Putusan hakim atau pihak berwajib lain yang
berwenang tentang pewarisan yang bersangkutan
· Surat keterangan dokter dan bukti lain yang
dianggap perlu guna pengesahan fakta kematian yang terjadi. Hubungan sebab
musabab kematian tersebut dengan penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan dan
hal-hal lain yang berguna bagi penentuan jumlah pembayaran dana yang harus
diberikan (pasal 17 ayat (2) PP 18/65).
2. Dalam
hal si korban mendapat cacat tetap atau cedera
·
Proses
perbal dari polisi lalu lintas atau pejabat lainnya yang berwenang tentang
memproses perbal kecelakaan yang telah terjadi dengan alat angkutan lalu lintas
jalan yang bersangkutan yang mengakibatkan cacat tetap pada si korban atau
penuntut
·
Surat
keterangan dokter tentang jenis cacat tetap atau cedera yang telah terjadi
sebagai akibat kecelakaan lalu lintas jalan
·
Surat-surat
bukti lain yang diangga perlu untuk pengesahan fakta cacat tetap atau cedera yang
terjadi. Hubungan sebab musabab antara cacat tetap dengan penggunaan alat
angkutan lalu lintas jalan dan hal-hal lain yang berguna bagi penentuan jumlah
pembayaran dana yang harus diberikan kepada si korban (pasal 17 ayat (2) b PP
18/65)
Tuntutan ganti rugi ini ada pengecualiannya,
yaitu:
- Jika korban atau ahli warisnya telah memperoleh jaminan berdasarkan UU 34/1964
- Bunuh diri, percobaan bunuh diri atau sesuatu kesengajaan lain pada pihak korban atau ahli waris
- Kecelakaan-kecelakaan yang terjadi pada waktu korban sedang dalam keadaan mabuk atau tak sadar, melakukan perbuatan kejahatan ataupun diakibatkan oleh atau terjadi karena korban memiliki cacat badan atau keadaan badaniah atau rohaniah biasa lain.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa penumpang berhak untuk
mendapat jaminan keselamatan selama menggunakan alat angkutan umum. Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian
yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan
penyelenggaraan angkutan. Selain itu Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab
atas kerugian yang diderita oleh Penumpang yang meninggal dunia atau luka
akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang
tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan Penumpang. Dengan
pembayaran uang atau tiket kepada pengangkut yang disetorkan ke PT Jasa Raharja
Persero, maka penumpang berhak atas ganti rugi atau asuransi dari Jasa Raharja kalau dia menderita kecelakaan dalam
pengangkutan, yakni:
·
Bila
penumpang mati, atau
·
Penumpang
mendapat cacat tetap akibat dari kecelakaan penumpang.
·
Penumpang
mendapat luka-luka
Dan semua hal di atas telah ada dasar
hukumnya yakni:
·
UU
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
·
UU
Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang.
·
PP
Nomor 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib
Kecelakaan Penumpang
·
UU
Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan
·
PP
Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas
Jalan
B. Saran
Sebaiknya
penumpang atau ahli waris penumpang tidak usah takut lagi kalau menuntut ganti
rugi atas kecelakaan yang terjadi di dalam atau diakibatkan angkutan umum.
Karena hal tersebut merupakan hak mereka dan upaya yang dilakukan seperti yang
telah diuraikan di atas cukup mudah serta mempunyai dasar hukum yang kuat.
Apabila laporan atau tuntutan ganti rugi tidak digubris oleh Jasa Raharja,
penulis menyarankana agar penumpang atau
ahli waris penumpang melaporkannya ke Ombudsman.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Hasnil. 2002. Hukum
Pengangkutan. Medan: Kelompok Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Kansil, C. S. T. 2006. Modul
Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pradnya
Paramita.
Muhammad, Abdulkadir. 1998. Hukum
Pengangkutan Niaga. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Purba, Hasim. 2005. Hukum
Pengangkutan di Laut. Medan: Pusaka Bangsa.
Purwosutjipto, H. M. N. 1981.
Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia: Hukum Pengangkutan. Jakarta: Djambatan.
Purwosutjipto, H. M. N. 2008.
Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia 3:
Hukum Pengangkutan. Jakarta: Djambatan.
hukumonline.com,
Hukum Pengangkutan, diakses pada
tanggal 27 Desember 2012
nuepoel.wordpress.com,
Asuransi Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Dan
Penumpang Umum, diakses pada tanggal 27 Desember 2012
[1]
H. M. N. Purwosutjipto, Pengantar
Pokok Hukum Dagang Indonesia: Hukum Pengangkutan. (Jakarta: Djambatan, 1981). hlm. 1
[2]
H. M. N. Purwosutjipto, Pengantar
Pokok Hukum Dagang Indonesia:Hukum Pengangkutan. (Jakarta: Djambatan, 1981). hlm. 2
[3]
Hasnil Basri, Hukum
Pengangkutan. ( Medan: Kelompok Studi Hukum Fakultas Hukum USU, 2002) hlm. 22-27.
[4] C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk
Asas-Asas Hukum Perdata. (Jakarta:
PT. Pradnya Paramita, 2006). hlm. 1
[5]
H. M. N. Purwosutjipto, Pengantar
Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum Pengangkutan. (Jakarta: Djambatan, 1981). hlm. 21-22
[6] Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga. (Bandung: Citra Aditya Bakti,1998) hlm. 37
[7] Hasim Purba.
Hukum Pengangkutan di Laut. (Medan:
Pusaka Bangsa, 2005) hlm. 101
[8]
H. M. N. Purwosutjipto, Pengantar
Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum
Pengangkutan. (Jakarta: Djambatan, 2008). hlm. 64
[9]
H. M. N. Purwosutjipto, Pengantar
Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum
Pengangkutan. (Jakarta: Djambatan, 2008). hlm. 64
[10]
H. M. N. Purwosutjipto, Pengantar
Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum
Pengangkutan. (Jakarta: Djambatan, 2008). hlm. 52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar